Asal mula Kasultanan Jogjakarta diawali ketika pada tahun 1558 M Ki
Ageng Pamanahan mendapatkan hadiah sebuah wilayah di Mataram dari Sultan
Pajang karena jasanya telah mengalahkan Aryo Penangsang. Pada tahun
1577, Ki Ageng Pemanahan yang tetap selalu setia pada Sultan Pajang
sampai akhir hayatnya, membangun istananya di Kotagede. Penggantinya,
Sutawijaya, anak Ki Ageng Pemanahan, berbeda dengan ayahandanya.
Sutawijaya menolak tunduk pada Sultan Pajang dan ingin memiliki daerah
kekuasaan sendiri bahkan menguasai Jawa.
Setelah memenangkan pertempuran dengan Kerajaan Pajang, pada tahun 1588,
Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan yang bergelar
Panembahan Senopati. Kerajaan Mataram mengalami perkembangan pesat pada
masa kekuasaan Sultan generasi keempat, Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Setelah Sultan Agung wafat dan digantikan putranya, Amangkurat I,
Kerajaan Mataram mengalami konflik internal/konflik keluarga yang
dimanfaatkan oleh VOC hingga berakhir dengan Perjanjian Giyanti pada
bulan Februari 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Jogjakarta. Dalam perjanjian tersebut,
dinyatakan Pangeran Mangkubumi menjadi sultan Kasultanan Jogjakarta
dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwana I. Sejak tahun 1988 hingga
sekarang, Kasultanan Jogjakarta dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwana X.
Keraton Jogjakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I
beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti. Lokasi keraton konon adalah
bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini
digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram yang
akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton
merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan
Beringan. Sebelum menempati Keraton Jogjakarta, Sultan Hamengku Buwono I
berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah
Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Lokasi Keraton Jogjakarta berada di
antara Sungai Code di sebelah timur dan Sungai Winongo di sebelah barat
serta Panggung Krapyak di sebelah selatan dan Tugu Jogja di sebelah
utara. Lokasi ini juga berada dalam satu garis imajiner Laut Selatan dan
Gunung Merapi.
Keistimewaan
Kata keraton berasal dari kata ka-ratu-an, yang berarti tempat tinggal
ratu/raja. Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta ini memiliki tujuh
kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan
Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan,
Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul
(Balairung Selatan). Secara garis besar wilayah keraton memanjang 5 km
ke arah selatan hingga Panggung Krapyak dan 2 km ke utara berakhir di
Tugu. Pada garis ini terdapat garis linier dualisme terbalik. Bisa
dibaca secara simbolik filosofis bahwa dari Panggung Krapyak menuju ke
Keraton (Kompleks Kedhaton) menunjukkan "sangkan", yaitu asal mula
penciptaan manusia sampai manusia tersebut dewasa. Ini dapat dilihat
dari kampung di sekitar Panggung Krapyak yang diberi nama kampung Mijen
(berasal dari kata "wiji" yang berarti benih). Di sepanjang jalan D.I.
Panjaitan ditanami pohon asam dan pohon tanjung yang melambangkan masa
anak-anak menuju remaja. Dari Tugu menuju ke Keraton (Kompleks Kedhaton)
menunjukkan "paran" tujuan akhir manusia yaitu menghadap penciptanya.
Tujuh gerbang dari Gladhag sampai Donopratopo melambangkan tujuh
langkah/gerbang menuju surga (seven steps to heaven). Sedangkan dari
Keraton menuju Tugu juga diartikan sebagai jalan hidup yang penuh
godaan. Pasar Beringharjo melambangkan godaan wanita, sedangkan godaan
akan kekuasaan dilambangkan lewat Gedung Kepatihan. Keduanya terletak di
sebelah kanan. Jalan lurus itu sendiri sebagai lambang manusia yang
dekat dengan Pencipta (Sankan Paraning Dumadi). Secara sederhana, Tugu
adalah perlambangan Lingga (laki-laki) dan Panggung Krapyak perlambangan
Yoni (perempuan). Sedangkan Keraton sebagai jasmani yang berasal dari
keduanya.
Tugu dan Bangsal Manguntur Tangkil atau Bangsal Kencana (tempat
singgasana raja), terletak dalam garis lurus. Hal ini mengandung arti,
ketika Sultan duduk di singgasananya dan memandang ke arah Tugu, maka
beliau akan selalu mengingat rakyatnya (manunggaling kawula gusti).
Tatanan Keraton sama seperti Keraton Dinasti Mataram pada umumnya.
Bangsal Kencana yang menjadi tempat raja memerintah –menyatu dengan
Bangsal Prabayeksa sebagai tempat menyimpan senjata-senjata pusaka
Keraton (di ruangan ini terdapat lampu minyak Kyai Wiji, yang selalu
dijaga abdi dalem agar tidak padam)— berfungsi sebagai pusat. Bangsal
tersebut dilingkupi oleh pelataran Kedhaton, sehingga untuk mencapai
pusat, harus melewati halaman yang berlapis-lapis menyerupai rangkaian
bewa (ombak) di atas lautan. Tatanan spasial Keraton ini sangat mirip
dengan konstelasi gunung dan dataran Jambu Dwipa, yang dipandang sebagai
benua pusatnya jagad raya.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur
Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari
budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap
kompleks biasanya berkonstruksi Joglo atau turunan konstruksinya. Secara
umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan
pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang
ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh
tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol yang biasanya
bergaya Semar Tinandu. Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di
belakang atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat
yang disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini
terdapat ornamen yang khas.
Keraton diapit dua alun-alun yaitu Alun-Alun Utara dan Alun-Alun
Selatan. Masing-masing alun-alun berukuran kurang lebih 100×100 meter.
Sedangkan secara keseluruhan Keraton Yogyakarta berdiri di atas tanah
seluas 1,5 km persegi. Bangunan inti keraton dibentengi dengan tembok
ganda setinggi 3,5 meter berbentuk bujur sangkar (1.000 x 1.000 meter).
Sehingga untuk memasukinya harus melewati pintu gerbang lengkung yang
disebut plengkung. Ada lima pintu gerbang plengkung (dua di antaranya
masih masih bisa kita saksikan hingga kini) yaitu Plengkung Tarunasura
atau Plengkung Wijilan di sebelah timur laut, Plengkung Jogosuro atau
Plengkung Ngasem di sebelah barat daya, Plengkung Joyoboyo atau
Plengkung Tamansari di sebelah barat, Plengkung Nirboyo atau Plengkung
Gading di sebelah selatan, dan Plengkung Tambakboyo atau Plengkung
Gondomanan di sebelah timur. Di dalam benteng, khususnya yang berada di
sebelah selatan dilengkapi jalan kecil yang berfungsi untuk mobilisasi
prajurit dan persenjataan. Sedangkan sebagai pertahanan, pada keempat
sudut benteng dibuat bastion (tiga di antaranya masih bisa kita saksikan
hingga kini) yang dilengkapi dengan lubang kecil yang berfungsi untuk
mengintai musuh.
Di dalam bangunan benteng, selain ada bangunan keraton tempat tinggal
Raja, di sekitarnya juga ada sejumlah kampung sebagai tempat bermukim
penduduk, yang pada zaman dulu merupakan abdi dalem keraton, namun pada
perkembangan berikutnya, hingga sekarang, orang yang tinggal di dalam
benteng keraton tidak harus sebagai abdi dalem. Nama-nama kampung di
dalam "njeron beteng" (wilayah dalam benteng) mempunyai sejarahnya
sendiri dan masing-masing berbeda. Sebagai contoh gamelan, dahulu
merupakan tempat tinggal para abdi dalem yang bekerja sebagai gamel
(pemelihara kuda), siliran (pemelihara lampu/alat penerangan), nagan
(niyagan/penabuh gamelan), matrigawen (penjaga keamanan lingkungan
keraton), patehan (pembuat dan penyedia teh), kenekan (dari kata Bahasa
Belanda knecht/pembantu, untuk menyebut para abdi dalem yang membantu
kusir/sais kereta kuda), Langenastran (tempat tinggal kesatuan prajurit
Langen Astra yang bertugas sebagai pengawal Sultan), Suryaputran (tempat
tinggal Pangeran Suryaputra, putra Sultan Hamengku Buwana VIII), Kauman
(tempat tinggal para Kaum/pemimpit umat Islam), rotowijayan (tempat
menyimpan dan memelihara kereta kuda milik keraton), tamansari (tempat
tinggal para istri dan puteri raja yang belum menikah), dan seterusnya.
Lokasi dan Fasilitas
Kompleks Keraton Sultan Jogjakarta terletak di pusat kota Jogjakarta,
tepatnya persis di sebelah selatan titik km. 0 Kota Jogjakarta. Dari
Tugu Jogjakarta, kita tinggal berjalan lurus ke selatan, melewati Jalan
Malioboro hingga memasuki gerbang utara Keraton di Alun-Alun Utara
Jogjakarta. Karena terletak di pusat kota Jogjakarta, fasilitas dan
akomodasi di sekitar kompleks Keraton Sultan Jogjakarta sangatlah
lengkap. Selain segala jenis hotel, dari mulai hotel berbintang hingga
hotel melati, dan segala jenis restoran/tempat makan, dari mulai
restoran mewah hingga angkringan (warung makan kaki lima khas
Jogjakarta), kita juga bisa memanjakan hasrat belanja kita dengan segala
macam cinderamata, pakaian, kerajinan, dan makanan khas Jogjakarta di
sepanjang Jalan Malioboro, di Pasar Beringharjo, maupun di toko-toko di
sekitar kompleks keraton. Semuanya tidak terlalu jauh dari keraton dan
bisa ditempuh dengan jalan kaki atau naik becak maupun andong (sejenis
kereta kuda). Begitu pula dengan sarana transportasi dan komunikasi,
semuanya dapat kita peroleh dengan mudah. Kawasan wisata Keraton Sultan
Jogjakarta ini buka setiap hari Senin hingga Minggu, jam 08.00 s.d.
13.30, kecuali hari Jumat jam 08.00 s.d. 11.30. Harga tiket masuk bagi
turis lokal Rp. 5.000, -, sedangkan untuk turis asing Rp. 10.000,
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.